“…
ada sindrom Mataram, setelah raja yang kuat meninggalkan tempat, para pangeran
berebut kekuasaan. Yang jadi korban justru negara. Dan para pangeran bisa
mengundang bantuan dari luar. Ini, kan, suatu sindrom, suatu fenomena sejarah.”
Mantan
Panglima Kostrad, Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, 47 tahun, dikenal “dekat”
dengan Timor Timur. Lulusan Akademi Militer tahun 1974 inilah yang menewaskan
Presiden Fretilin, Nicolao Lobato, pada 1978. Putra begawan ekonomi Sumitro
Djojohadikusumo ini belakangan harus kehilangan karir militernya. Menantu
mantan presiden Soeharto ini dianggap terlibat penculikan aktivis prodemokrasi
pada 1998, tiga bulan sebelum Soeharto jatuh. Ia dipecat dari TNI.
Kini
ia berada di sebuah apartemen empat lantai di Kota Amman, Yordania. Kamis pekan
lalu, “diam-diam” ia bertemu dengan Presiden Gus Dur dipresidential
suite Istana Al-Nadwa, Amman. Bowo minta izin pulang? “Kalau dia mau
pulang, silakan saja. Dia sebenarnya, kan, sudah dihukum, sudah melepas pangkat
militernya, bagi tentara itu menyakitkan,” kata Gus Dur saat ditanya pers di
pesawat Airbus A-300 sebelum mendarat di Jakarta, Jumat esoknya.
Jumat
siang, selama sekitar 1,5 jam, wartawan TEMPO Wahyu Muryadi menemui Prabowo di
rumahnya, untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:
Di Jakarta dibentuk Komite
Pencari Fakta HAM yang akan mengusut soal operasi militer di Aceh, praktek bumi
hangus di Dili, mungkin nanti penculikan aktivis. Jenderal Wiranto, Zacky
Makarim, Sjafrie, akan dimintai keterangan. Gentarkah Anda dengan semua itu?
Kita
lihat saja perkembangannya. Saya kira semua harus fair. Tentara
adalah suatu lembaga. TNI adalah suatu aset nasional. Kalau TNI selalu
dipojokkan, dijatuhkan, siapa yang menjadi perekat bangsa? Kalau
perwira-perwira yang bertugas untuk kedaulatan, kehormatan, dan keutuhan
bangsa, dicari-cari kesalahannya, ya, kita akan bisa melihat akibatnya. Tidak
akan ada orang yang patriotik, yang punya profesionalisme tinggi, yang mau
mengabdi di tentara. Siapa yang akan menjaga keamanan? Mereka yang diberi tugas
ke Irian, Tim-Tim, apakah mereka ke situ karena hobi? Karena apa? Karena cinta
tanah air. Kalau ada pasukan yang tidak disiplin, kenapa tidak disiplin, itu
yang perlu diperbaiki. Tapi, kalau sekarang mau dihujat, mau dibongkar, mau menghancurkan
reputasi orang, menurut saya itu bagian dari permainan politik. Sebagai alat
untuk mendapatkan saya.
Kekecewaan dan kemarahan Anda
ini ditujukan kepada mertua, barangkali…?
Enggak.
Kenapa Anda bilang kekecewaan dan kemarahan (meninggi). Tidak. Saya
memandangnya sangat dingin. Ini bagian dari politik. Kalau ada pelanggaran hak
asasi, menurut saya, justru untuk orang-orang seperti saya, Sjafrie, berusaha
memperbaiki, kok.
Terus tentang kesalahan BKO
(bawah kendali operasi, ketika terjadi penculikan aktivis prodemokrasi pada
1998) segala macam….
Kan,
sudah saya kasih penjelasan. Sudah saya kasih penjelasan.
Artinya, Anda bilang
(penculikan) itu sudah diketahui oleh panglima….
Begini,
deh. Pokoknya, hati nurani saya bersih. Saya ini prajurit. Saya melaksanakan
tugas demi menjaga kehormatan Republik, demi Merah Putih, demi rakyat.
Pelajari, dong, masalahnya. You mau kembalikan ke masalah
penculikan, Anda selalu mengaitkan dengan penculikan-penculikan. Kenapa tidak
Anda bahas soal perakitan bom. Mereka mau bom-boman, mereka mau membakar
terminal, itu tidak pernah Anda ungkit. Lihat, dong, pengadilan perwira-perwira
(Kopassus) itu. Sudah saya katakan, kalau memang salah, saya akui. Saya ikut
bertanggung jawab, itu sudah saya katakan.
Tapi ada yang mengatakan
itu adalah operasi intelijen….
Sudahlah,
semua orang sudah tahu, Anda hanya mengulang-ulang pertanyaan. Semua orang tahu
bahwa itu operasi intelijen. Tapi saya juga punya kesetiaan kepada lembaga
saya. Apa yang kalian mau? Kalian mau kita hancurkan seluruhnya?
Apa konsep Anda tentang
republik ini?
Saya
sebagai patriot, saya tidak suka republik ini pecah. Itu yang kita hadapi, kan?
TNI juga punya jasa dan prestasi, walaupun juga banyak kekurangannya. TNI, kan,
suatu lembaga. Kalau ada kekurangan, harusnya diperbaiki, jangan malah
lembaganya yang mau dirusak. Kalau rakyat dibuat tidak percaya kepada
tentaranya, disintegrasi sosial, disintegrasi politik, disintegrasi nasional,
akan terjadi.
“…
Blunder terbesar karena Xanana dan Fretilin tidak meminta referendum tahun ini.
Mereka minta 10 atau 15 tahun kemudian. Bahkan Xanana pernah bilang, kalau
perlu referendum kelak di kemudian hari.”
Menurut Anda, separatisme
sudah pada tingkat bahaya?
Menurut
saya sudah pada tingkat bahaya. Pemerintah harus tegas. Kita tidak boleh
menoleransi separatisme. Kita harus setia kepada proklamasi 17 Agustus dan
mempertahankan Republik Indonesia sampai titik darah penghabisan.
Tetapi apakah kekuatan
separatisme ini cukup besar?
Kalau
benar berita bahwa jaksa, hakim, polisi telah meninggalkan Aceh, berarti ini
sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut saya, ini sudah lampu merah, bukan lampu
kuning lagi. Menurut saya, dari luar, ini sudah pemberontakan karena sudah
mengangkat bendera selain bendera RI.
Apa tugas terberat bagi
pemerintahan Gus Dur sekarang?
Menjaga
keutuhan RI.
Anda pernah bilang blunder
terbesar Habibie adalah soal Timor Timur….
Benar.
Blunder terbesar karena Xanana dan Fretilin tidak meminta referendum tahun ini.
Mereka minta 10 atau 15 tahun kemudian. Bahkan Xanana pernah bilang, kalau
perlu referendum kelak di kemudian hari.
Bagaimana dengan ide negara
federasi?
Pendapat
saya pribadi, tidak masalah. Federasi hanyalah sistem pemerintahan. Kalau
federasi lebih fleksibel, kenapa tidak digunakan? Malaysia federal, Jerman,
Amerika, Rusia sekarang federal. Banyak contoh negara federal yang berhasil.
Dan untuk mengantisipasi kemajemukan, sistem federasi adalah sesuatu yang
pantas dipertimbangkan.
Solusi yang dapat menjawab
tuntutan masyarakat Aceh salah satunya adalah pengusutan kasus-kasus daerah
operasi militer. Anda sepakat?
Kalau
memang itu yang mau diselidiki, ya, silakan saja. Kan, ada bottom line-nya.
Menurut saya, kita harus tetap meyakinkan dan mengajak tokoh Aceh agar tetap
bersama kita dalam keluarga besar RI. Sebab, mereka ikut mendirikan RI. Menurut
saya, ada sekelompok kecil ekstrem yang berhasil menciptakan kondisi seperti
sekarang. Saya kira mayoritas masyarakat Aceh tidak ingin lepas dari Republik.
Memang banyak kesalahan aparat, tetapi itu kondisi yang terjadi pada saat itu.
Itu yang ingin kita perbaiki, bukan hanya di Aceh, di seluruh RI.
Di Timor Timur ada operasi
yang melibatkan Anda?
Terus
terang, saya sudah 18 bulan ada di luar negeri. Saya sudah ada di luar
struktur, istilah militernya, out of the look. Saya tidak
mengikuti secara detail, saya hanya mengikuti. Karena saya diserang terus, saya
tidak mau merepotkan rekan-rekan saya yang masih dalam struktur. Maka, saya
tidak pernah menghubungi, saya tidak pernah memberi saran, saya diam saja.
Tetapi apakah bumi hangus itu suatu policy dari atas, saya
sama sekali tidak tahu. Saya kira tidak ada. Kita juga harus hati-hati terhadap
permainan intelijen. Itu, kan, bisa saja. Bisa saja mereka dibayar oleh tentara
asing.
Tentang Gardapaksi
(organisasi pemuda prointegrasi yang disebut-sebut dibentuk dengan “setahu”
Prabowo)….
Waktu
itu banyak pemuda yang drop-out tidak punya pekerjaan. Kita
harus membuat integrasi ini menguntungkan Timor Timur. Maka, mereka harus
diberi keterampilan, pekerjaan yang bisa segera menghasilkan uang. Inilah
gagasan Gardapaksi. Waktu itu didukung oleh Bappenas, sehingga kita berhasil
melatih keterampilan ini. Ini saham bagi RI. Mereka tidak pernah dilatih
militer. Karena berjasa terhadap RI, mereka dianggap ancaman. Tentara dianggap
melakukan okupasi. Tapi tentang politik bumi hangus dan sebagainya, saya tidak
tahu. Saya kira itu bukan sikap resmi ABRI.
Tentang Anda sendiri,
kenapa memilih tinggal di Amman?
Setelah
saya keluar dari tentara, saya harus hidup. Kebetulan adik saya (Hashim) punya
banyak pekerjaan di Timur Tengah, sudah 11 tahun lebih, di Sudan, Irak, Syria.
Di samping itu, saya di sini banyak kawan. Sementara saya ingin minggir dengan
baik. Saya tidak ingin membuat masalah lagi di Indonesia. Jadi, sementara saya
memilih berbisnis di luar. Itu saja, sederhana.
Bisnis apa?
Trading.
Komoditas. Kita berusaha menjual barang Indonesia di pasar sini. Itu bagian
dari patriotisme saya. Kita jual teh, teh Indonesia, kita jual kopi, kopi
Indonesia, kita jual garmen, garmen Indonesia.
Jadi, kapasitas Anda
sebagai apa?
Saya
tidak mau jadi eksekutif. Semacam advicer sajalah.
Anda dekat dengan Raja
Abdullah?
Ya,
benar.
Seberapa dekat sekarang
setelah Anda diturunkan secara paksa?
(Tertawa)
Hubungan saya dengan beliau memang baik justru ketika saya tidak punya jabatan.
Beliau masih menunjukkan sikap baiknya dan sikap kesetiaannya. Jadi, itu yang
sangat saya hargai. Kadang-kadang, kalau kita berkuasa, kita banyak teman,
begitu kita tidak punya apa-apa, udah.
Bagaimana keluarga Anda?
Anak
saya di Boston. Beberapa saat saya ke sana. Hubungan telepon setiap hari. Maka,
biaya telepon mahal sekali ini.
Tapi Anda tampaknya masih
punya jiwa militer?
Once
a soldier always a soldier. Prajurit itu tidak usah memakai
seragam. Jiwa saya tetap seorang prajurit. Saya menganggap ini sebagai
perjuangan.
Kangen nggak, sih, pulang
ke Jakarta?
Itu
sifat orang Indonesia yang selalu ingin pulang kampung.
Itu, kan, pernah Anda
rintis sewaktu Pak Habibie?
Benar.
Saya selalu menghargai dan menghormati para senior. Dulu Pak Habibie dan Gus
Dur sebelum menjadi presiden menyarankan saya agar tidak kembali dulu. Kalau
saatnya tepat, saya akan pulang.
Anda masih khawatir kalau
pulang sekarang?
Saya
nggak tahu. Tapi, kalau banyak orang dekat dengan saya, saya bisa kena fitnah
lagi. Nanti dibuat lagi satu peristiwa. Ini, kan, permainan-permainan intel.
Bisa juga dibuat satu gerakan, dibilang dalangnya Prabowo. Kan, selama ini
begitu? Saya di Yordan saja dibilang saya di Kupang. Ada juga pihak lain yang
khawatir saya mau bikin macem-macem.
Kalau Anda berlama-lama di
Yordania, orang menduga Anda melarikan diri….
Tidak
benar. Saya sudah minta izin pulang dan saya disarankan agar tidak pulang. Pada
saatnya saya akan kembali.
Siapa, sih, yang Anda
takuti di Jakarta?
Saya
takut sama Tuhan.
Tetapi kawan-kawan Anda
sedang dalam posisi dikuyo-kuyo. Apakah kalau pulang Anda siap
dengan risiko seperti itu?
Saya
melihat bahwa itu risiko seorang prajurit dalam berjuang. Saya kenal baik
dengan kawan-kawan saya. Karena kebetulan juga senasib dan seperjuangan, saya
kenal mereka karena sering di lapangan. Menurut saya, mereka adalah patriot
sejati. Sekarang mereka difitnah sebagai penjahat perang atau segala macem.
Fitnah kejam yang selalu diarahkan kepada orang-orang patriot yang kuat membela
negaranya.
Anda percaya ada
konspirasi?
Antara
percaya dan tidak. Anda lihat apa yang terjadi di negara kita selama dua tahun
belakangan ini. Apakah itu terjadi begitu saja? Penyakit kanker, kan, ada
perjalanan penyakitnya, ada stadium satu, dua, dan seterusnya.
Konspirasi ini dimainkan
oleh Amerika Serikat?
Saya
tidak mengatakan itu. Jangan memancing-mancing.
Apakah tidak ada persaingan
di elite (kekuasaan) yang berhadapan dengan kawan-kawan Anda itu?
Dalam
sejarah pun ada sindrom Mataram, setelah raja yang kuat meninggalkan tempat,
para pangeran berebut kekuasaan. Yang jadi korban justru negara. Dan para
pangeran bisa mengundang bantuan dari luar. Ini, kan, suatu sindrom, suatu
fenomena sejarah.
Maksud Anda?
Sejarah
kan berulang. Hobi saya sebetulnya sejarah. Bisnis ini karena terpaksa. Benar.
Saya ingin mendalami sejarah. Menulis buku jadi cita-cita saya. Saya sekarang
sedang mempelajari sejarah Romawi. Kalau kita lihat sejarah Romawi, itu persis
seperti yang kita alami sekarang.
*) Dimuat dalam Laporan
Utama Majalah TEMPO No. 39/XXVIII, 29 November—5 Desember 1999. Judul asli
“Prabowo Subianto: Aceh Sudah Lampu Merah”
https://soedoetpandang.wordpress.com/2013/10/14/prabowo-subianto-itu-blunder-terbesar-habibie/