Senin, 07 Desember 2015

PRABOWO SUBIANTO: ITU BLUNDER TERBESAR HABIBIE


“… ada sindrom Mataram, setelah raja yang kuat meninggalkan tempat, para pangeran berebut kekuasaan. Yang jadi korban justru negara. Dan para pangeran bisa mengundang bantuan dari luar. Ini, kan, suatu sindrom, suatu fenomena sejarah.”
 Mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, 47 tahun, dikenal “dekat” dengan Timor Timur. Lulusan Akademi Militer tahun 1974 inilah yang menewaskan Presiden Fretilin, Nicolao Lobato, pada 1978. Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini belakangan harus kehilangan karir militernya. Menantu mantan presiden Soeharto ini dianggap terlibat penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998, tiga bulan sebelum Soeharto jatuh. Ia dipecat dari TNI.
Kini ia berada di sebuah apartemen empat lantai di Kota Amman, Yordania. Kamis pekan lalu, “diam-diam” ia bertemu dengan Presiden Gus Dur dipresidential suite Istana Al-Nadwa, Amman. Bowo minta izin pulang? “Kalau dia mau pulang, silakan saja. Dia sebenarnya, kan, sudah dihukum, sudah melepas pangkat militernya, bagi tentara itu menyakitkan,” kata Gus Dur saat ditanya pers di pesawat Airbus A-300 sebelum mendarat di Jakarta, Jumat esoknya.
Jumat siang, selama sekitar 1,5 jam, wartawan TEMPO Wahyu Muryadi menemui Prabowo di rumahnya, untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:

 Di Jakarta dibentuk Komite Pencari Fakta HAM yang akan mengusut soal operasi militer di Aceh, praktek bumi hangus di Dili, mungkin nanti penculikan aktivis. Jenderal Wiranto, Zacky Makarim, Sjafrie, akan dimintai keterangan. Gentarkah Anda dengan semua itu?
Kita lihat saja perkembangannya. Saya kira semua harus fair. Tentara adalah suatu lembaga. TNI adalah suatu aset nasional. Kalau TNI selalu dipojokkan, dijatuhkan, siapa yang menjadi perekat bangsa? Kalau perwira-perwira yang bertugas untuk kedaulatan, kehormatan, dan keutuhan bangsa, dicari-cari kesalahannya, ya, kita akan bisa melihat akibatnya. Tidak akan ada orang yang patriotik, yang punya profesionalisme tinggi, yang mau mengabdi di tentara. Siapa yang akan menjaga keamanan? Mereka yang diberi tugas ke Irian, Tim-Tim, apakah mereka ke situ karena hobi? Karena apa? Karena cinta tanah air. Kalau ada pasukan yang tidak disiplin, kenapa tidak disiplin, itu yang perlu diperbaiki. Tapi, kalau sekarang mau dihujat, mau dibongkar, mau menghancurkan reputasi orang, menurut saya itu bagian dari permainan politik. Sebagai alat untuk mendapatkan saya.

 Kekecewaan dan kemarahan Anda ini ditujukan kepada mertua, barangkali…?
Enggak. Kenapa Anda bilang kekecewaan dan kemarahan (meninggi). Tidak. Saya memandangnya sangat dingin. Ini bagian dari politik. Kalau ada pelanggaran hak asasi, menurut saya, justru untuk orang-orang seperti saya, Sjafrie, berusaha memperbaiki, kok.

 Terus tentang kesalahan BKO (bawah kendali operasi, ketika terjadi penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998) segala macam….
Kan, sudah saya kasih penjelasan. Sudah saya kasih penjelasan.

Artinya, Anda bilang (penculikan) itu sudah diketahui oleh panglima….
Begini, deh. Pokoknya, hati nurani saya bersih. Saya ini prajurit. Saya melaksanakan tugas demi menjaga kehormatan Republik, demi Merah Putih, demi rakyat. Pelajari, dong, masalahnya. You mau kembalikan ke masalah penculikan, Anda selalu mengaitkan dengan penculikan-penculikan. Kenapa tidak Anda bahas soal perakitan bom. Mereka mau bom-boman, mereka mau membakar terminal, itu tidak pernah Anda ungkit. Lihat, dong, pengadilan perwira-perwira (Kopassus) itu. Sudah saya katakan, kalau memang salah, saya akui. Saya ikut bertanggung jawab, itu sudah saya katakan.

Tapi ada yang mengatakan itu adalah operasi intelijen….
Sudahlah, semua orang sudah tahu, Anda hanya mengulang-ulang pertanyaan. Semua orang tahu bahwa itu operasi intelijen. Tapi saya juga punya kesetiaan kepada lembaga saya. Apa yang kalian mau? Kalian mau kita hancurkan seluruhnya?

Apa konsep Anda tentang republik ini?
Saya sebagai patriot, saya tidak suka republik ini pecah. Itu yang kita hadapi, kan? TNI juga punya jasa dan prestasi, walaupun juga banyak kekurangannya. TNI, kan, suatu lembaga. Kalau ada kekurangan, harusnya diperbaiki, jangan malah lembaganya yang mau dirusak. Kalau rakyat dibuat tidak percaya kepada tentaranya, disintegrasi sosial, disintegrasi politik, disintegrasi nasional, akan terjadi.

“… Blunder terbesar karena Xanana dan Fretilin tidak meminta referendum tahun ini. Mereka minta 10 atau 15 tahun kemudian. Bahkan Xanana pernah bilang, kalau perlu referendum kelak di kemudian hari.”

Menurut Anda, separatisme sudah pada tingkat bahaya?
Menurut saya sudah pada tingkat bahaya. Pemerintah harus tegas. Kita tidak boleh menoleransi separatisme. Kita harus setia kepada proklamasi 17 Agustus dan mempertahankan Republik Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Tetapi apakah kekuatan separatisme ini cukup besar?
Kalau benar berita bahwa jaksa, hakim, polisi telah meninggalkan Aceh, berarti ini sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut saya, ini sudah lampu merah, bukan lampu kuning lagi. Menurut saya, dari luar, ini sudah pemberontakan karena sudah mengangkat bendera selain bendera RI.

Apa tugas terberat bagi pemerintahan Gus Dur sekarang?
Menjaga keutuhan RI.

Anda pernah bilang blunder terbesar Habibie adalah soal Timor Timur….
Benar. Blunder terbesar karena Xanana dan Fretilin tidak meminta referendum tahun ini. Mereka minta 10 atau 15 tahun kemudian. Bahkan Xanana pernah bilang, kalau perlu referendum kelak di kemudian hari.

Bagaimana dengan ide negara federasi?
Pendapat saya pribadi, tidak masalah. Federasi hanyalah sistem pemerintahan. Kalau federasi lebih fleksibel, kenapa tidak digunakan? Malaysia federal, Jerman, Amerika, Rusia sekarang federal. Banyak contoh negara federal yang berhasil. Dan untuk mengantisipasi kemajemukan, sistem federasi adalah sesuatu yang pantas dipertimbangkan.

Solusi yang dapat menjawab tuntutan masyarakat Aceh salah satunya adalah pengusutan kasus-kasus daerah operasi militer. Anda sepakat?
Kalau memang itu yang mau diselidiki, ya, silakan saja. Kan, ada bottom line-nya. Menurut saya, kita harus tetap meyakinkan dan mengajak tokoh Aceh agar tetap bersama kita dalam keluarga besar RI. Sebab, mereka ikut mendirikan RI. Menurut saya, ada sekelompok kecil ekstrem yang berhasil menciptakan kondisi seperti sekarang. Saya kira mayoritas masyarakat Aceh tidak ingin lepas dari Republik. Memang banyak kesalahan aparat, tetapi itu kondisi yang terjadi pada saat itu. Itu yang ingin kita perbaiki, bukan hanya di Aceh, di seluruh RI.

Di Timor Timur ada operasi yang melibatkan Anda?
Terus terang, saya sudah 18 bulan ada di luar negeri. Saya sudah ada di luar struktur, istilah militernya, out of the look. Saya tidak mengikuti secara detail, saya hanya mengikuti. Karena saya diserang terus, saya tidak mau merepotkan rekan-rekan saya yang masih dalam struktur. Maka, saya tidak pernah menghubungi, saya tidak pernah memberi saran, saya diam saja. Tetapi apakah bumi hangus itu suatu policy dari atas, saya sama sekali tidak tahu. Saya kira tidak ada. Kita juga harus hati-hati terhadap permainan intelijen. Itu, kan, bisa saja. Bisa saja mereka dibayar oleh tentara asing.

Tentang Gardapaksi (organisasi pemuda prointegrasi yang disebut-sebut dibentuk dengan “setahu” Prabowo)….
Waktu itu banyak pemuda yang drop-out tidak punya pekerjaan. Kita harus membuat integrasi ini menguntungkan Timor Timur. Maka, mereka harus diberi keterampilan, pekerjaan yang bisa segera menghasilkan uang. Inilah gagasan Gardapaksi. Waktu itu didukung oleh Bappenas, sehingga kita berhasil melatih keterampilan ini. Ini saham bagi RI. Mereka tidak pernah dilatih militer. Karena berjasa terhadap RI, mereka dianggap ancaman. Tentara dianggap melakukan okupasi. Tapi tentang politik bumi hangus dan sebagainya, saya tidak tahu. Saya kira itu bukan sikap resmi ABRI.

Tentang Anda sendiri, kenapa memilih tinggal di Amman?
Setelah saya keluar dari tentara, saya harus hidup. Kebetulan adik saya (Hashim) punya banyak pekerjaan di Timur Tengah, sudah 11 tahun lebih, di Sudan, Irak, Syria. Di samping itu, saya di sini banyak kawan. Sementara saya ingin minggir dengan baik. Saya tidak ingin membuat masalah lagi di Indonesia. Jadi, sementara saya memilih berbisnis di luar. Itu saja, sederhana.

Bisnis apa?
Trading. Komoditas. Kita berusaha menjual barang Indonesia di pasar sini. Itu bagian dari patriotisme saya. Kita jual teh, teh Indonesia, kita jual kopi, kopi Indonesia, kita jual garmen, garmen Indonesia.

Jadi, kapasitas Anda sebagai apa?
Saya tidak mau jadi eksekutif. Semacam advicer sajalah.

Anda dekat dengan Raja Abdullah?
Ya, benar.

Seberapa dekat sekarang setelah Anda diturunkan secara paksa?
(Tertawa) Hubungan saya dengan beliau memang baik justru ketika saya tidak punya jabatan. Beliau masih menunjukkan sikap baiknya dan sikap kesetiaannya. Jadi, itu yang sangat saya hargai. Kadang-kadang, kalau kita berkuasa, kita banyak teman, begitu kita tidak punya apa-apa, udah.

Bagaimana keluarga Anda?
Anak saya di Boston. Beberapa saat saya ke sana. Hubungan telepon setiap hari. Maka, biaya telepon mahal sekali ini.

Tapi Anda tampaknya masih punya jiwa militer?
Once a soldier always a soldier. Prajurit itu tidak usah memakai seragam. Jiwa saya tetap seorang prajurit. Saya menganggap ini sebagai perjuangan.

Kangen nggak, sih, pulang ke Jakarta?
Itu sifat orang Indonesia yang selalu ingin pulang kampung.

Itu, kan, pernah Anda rintis sewaktu Pak Habibie?
Benar. Saya selalu menghargai dan menghormati para senior. Dulu Pak Habibie dan Gus Dur sebelum menjadi presiden menyarankan saya agar tidak kembali dulu. Kalau saatnya tepat, saya akan pulang.

Anda masih khawatir kalau pulang sekarang?
Saya nggak tahu. Tapi, kalau banyak orang dekat dengan saya, saya bisa kena fitnah lagi. Nanti dibuat lagi satu peristiwa. Ini, kan, permainan-permainan intel. Bisa juga dibuat satu gerakan, dibilang dalangnya Prabowo. Kan, selama ini begitu? Saya di Yordan saja dibilang saya di Kupang. Ada juga pihak lain yang khawatir saya mau bikin macem-macem.

Kalau Anda berlama-lama di Yordania, orang menduga Anda melarikan diri….
Tidak benar. Saya sudah minta izin pulang dan saya disarankan agar tidak pulang. Pada saatnya saya akan kembali.

Siapa, sih, yang Anda takuti di Jakarta?
Saya takut sama Tuhan.

Tetapi kawan-kawan Anda sedang dalam posisi dikuyo-kuyo. Apakah kalau pulang Anda siap dengan risiko seperti itu?
Saya melihat bahwa itu risiko seorang prajurit dalam berjuang. Saya kenal baik dengan kawan-kawan saya. Karena kebetulan juga senasib dan seperjuangan, saya kenal mereka karena sering di lapangan. Menurut saya, mereka adalah patriot sejati. Sekarang mereka difitnah sebagai penjahat perang atau segala macem. Fitnah kejam yang selalu diarahkan kepada orang-orang patriot yang kuat membela negaranya.

Anda percaya ada konspirasi?
Antara percaya dan tidak. Anda lihat apa yang terjadi di negara kita selama dua tahun belakangan ini. Apakah itu terjadi begitu saja? Penyakit kanker, kan, ada perjalanan penyakitnya, ada stadium satu, dua, dan seterusnya.

Konspirasi ini dimainkan oleh Amerika Serikat?
Saya tidak mengatakan itu. Jangan memancing-mancing.

Apakah tidak ada persaingan di elite (kekuasaan) yang berhadapan dengan kawan-kawan Anda itu?
Dalam sejarah pun ada sindrom Mataram, setelah raja yang kuat meninggalkan tempat, para pangeran berebut kekuasaan. Yang jadi korban justru negara. Dan para pangeran bisa mengundang bantuan dari luar. Ini, kan, suatu sindrom, suatu fenomena sejarah.

Maksud Anda?
Sejarah kan berulang. Hobi saya sebetulnya sejarah. Bisnis ini karena terpaksa. Benar. Saya ingin mendalami sejarah. Menulis buku jadi cita-cita saya. Saya sekarang sedang mempelajari sejarah Romawi. Kalau kita lihat sejarah Romawi, itu persis seperti yang kita alami sekarang.

*) Dimuat dalam Laporan Utama Majalah TEMPO No. 39/XXVIII, 29 November—5 Desember 1999. Judul asli “Prabowo Subianto: Aceh Sudah Lampu Merah”

https://soedoetpandang.wordpress.com/2013/10/14/prabowo-subianto-itu-blunder-terbesar-habibie/

KESAKSIAN SUMITRO TENTANG PRABOWO.



Soeharto memendam prasangka buruk bahwa Prabowo bersama-sama Habibie sedang menggalang persekongkolan untuk menumbangkannya. Sebagaimana tradisi dalam riwayat raja-raja Mataram yang dikudeta oleh kalangan istana sendiri, maka “putra mahkota” Prabowo agaknya tengah mengatur siasat untuk mendongkel sang raja, Soeharto. 
Cerita-cerita semacam ini sudah beredar luas sedari awal tahun 1998 dan menjadi bahan spekulasi politik yang semakin panas di kalangan masyarakat. Menurut Sumitro, dalam hal ini Soeharto rupanya telah termakan isu yang diembuskan putra-putrinya—yang di hari-hari terakhir memiliki hubungan yang semakin buruk dengan Prabowo.
Cerita-cerita miring boleh jadi meluas dengan cepat, sebab diketahui bahwa di luar istana terdapat pula sebarisan perwira tinggi ABRI yang memandang dengan penuh perasaan cemburu terhadap karier Letjen Prabowo yang menanjak dengan pesat. “Kenaikan pangkat yang cepat dari anak saya itu sudah jelas mengundang ketidaksenangan bagi beberapa orang. 
Kondisi kecemburuan seperti ini sudah merupakan sifat umum dari manusia di manapun.[1]
Salah satunya yang tidak lagi menyembunyikan rasa bencinya terhadap Prabowo ialah Pangab Jenderal Wiranto. Bersama kelompoknya, niscaya Wiranto dalam posisi terus mengintai, dan bahkan mungkin sebagai pihak yang berusaha mengambil inisiatif. Ia tentu tak menyia-nyiakan kesempatan begitu melihat ada peluang agar dapat menghempaskan Prabowo. Wiranto di sekitar tanggal 21 Mei 1998 kabarnya mengeluh kepada mantan Presiden/Pangti Soeharto mengenai pergerakan Prabowo. Mendengar keluhan itu, Soeharto langsung “menginstruksikan” agar Prabowo segera dilepaskan dari pasukan. “Copot saja Prabowo dari Kostrad!” Wiranto, masih menurut sumber yang sangat dipercaya pula, konon sempat bertanya lagi apakah Prabowo harus dilempar ke teritorial, ke Irian Jaya, atau entah ke mana? “Ndak usah, kasih saja pendidikan. Bukankah keluarganya intelektual,” ser­gah Soeharto, tampaknya ia hendak menyindir keluarga Sumitro.

Malam hari sebelum pengumuman, Prabowo menelepon kepada ayahnya memberitahu bahwa ia akan disingkirkan. “Saya dikhianati,” kata Prabowo. Oleh siapa? “Papi nggak percaya kalau saya bilang, saya dikhianati oleh mertua. Dia bilang kepada Wiranto, singkirkan saja Prabowo dari pasukan,” tambah Prabowo.
Prabowo tentu saja sangat kecewa dengan perlakuan keluarga Cendana. Untuk membela diri, Prabowo menulis surat kepada Soeharto. Tapi, justru surat Prabowo itu dinilai tak pantas oleh keluarga Cendana.

Tanggal 25 Mei 1998: Letjen Prabowo Subianto resmi dicopot dari Pangkostrad, dan dikirim ke Bandung untuk menjadi Komandan Sesko ABRI. Tak berapa lama, setelah pemeriksaan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), bahkan karier militer Prabowo diakhiri oleh Wiranto. Akhirnya, Prabowo memutuskan untuk memilih menjadi pengusaha di luar negeri, guna menyusun hidup yang baru. Sebelum berangkat, ia sempat melapor kepada Pangab Jenderal TNI Wiranto, dan kala itu Wiranto sempat berkomentar singkat, “Ya, sudah pergi saja ke luar, tak apa-apa. Jauhkan pikiran kamu dari Mahmil!”

Menyaksikan tragedi yang menimpa Prabowo, tentu saja sebagai orang tua, Sumitro menganggap itu sebagai cobaan yang berat dalam kehidupan. Tapi, itu tidak lantas membuat keluarga ini harus merasa terpukul apalagi terpuruk. Dengan suara tetap lantang dan tenang Sumitro berkata, “Prabowo mesti tetap tabah dan lebih kuat lagi. Masalahnya bukan ia dipukul, tapi bagaimana ia bisa bertahan. Saya bangga Prabowo tabah. Ujian buat saya dan isteri saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha..ha..ha!”
Kepada Prabowo, Sumitro cuma berujar singkat, “Begini, sekarang kamu dijadikan sasaran macam-macam. Jangan harapkan teman-teman kamu sendiri akan membantu. Orang yang berhutang budi terhadap kamu pun bakal meninggalkan kamu. Tapi, dalam keadaan segelap apa pun niscaya masih ada orang-orang baru yang akan membantu. Jadi harus tabah. Kedua, jangan merasa kasihan pada dirimu sendiri, jangan menjadi dendam, ini kehidupan sendiri, hadapilah!” kata Sumitro seraya mengingatkan bahwa Sumitro sudah beberapa kali mengalami hal serupa bahkan yang lebih buruk dari itu.

Di depan DKP, Prabowo mengungkapkan mengenai daftar sembilan aktivis yang harus diculik yang ia dapat dari atasannya, seraya mengatakan bahwa kesembilan orang itu menjadi tanggung jawabnya dan telah ia lepaskan serta semuanya masih hidup.

… Berarti yang mesti ditelusuri lebih jauh ialah siapakah yang memberi perintah kepada Prabowo untuk menculik, KSAD-kah, Pangab atau Pangti-kah?

Tindakan pertama ABRI segera setelah Soeharto lengser ialah berusaha mengungkap kasus penculikan para aktivis pro-demokrasi. Begitu Pangab Jenderal TNI Wiranto mengumumkan tujuh oknum anggota Kopassus sebagai tersangka kasus penculikan, banyak pihak memuji langkah tersebut, menilai bahwa ABRI tengah menuju perkembangan yang menggembirakan, karena sudah mulai transparan jika ada anggotanya terlibat dalam perkara besar.[2]
Wiranto lantas seakan-akan hendak memuaskan tuntutan masyarakat dengan membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang diketuai Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. DKP kemudian memeriksa Letnan Jenderal Prabowo Subianto, Mayor Jenderal Muchdi P.R. dan Kolonel Chairawan. Hasilnya, Prabowo Subianto diakhiri masa dinasnya (istilah lain dari diberhentikan dengan hormat) di ABRI. Sedangkan, Muchdi dan Chairawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan struktural di ABRI. Mereka terkena sanksi sehubungan dengan kasus penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar Kopassus, antara bulan Februari 1998 hingga Maret 1998. Tercatat belasan aktivis pro-demokrasi diculik, tiga di antaranya dapat meloloskan diri, yaitu Desmond Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Nezar Patria.
Namun belakangan terbukti bahwa langkah Wiranto tersebut lebih bermakna politis—kalau tidak boleh dikatakan mengelabui publik—ketimbang kesungguhan institusi ABRI sendiri untuk mengungkap satu per satu kasus yang mengemuka di masyarakat, sebagai cermin kesungguhan ABRI untuk memperbaiki citra buruk dirinya. Kasus orang hilang sampai sekarang tidak terjawab tuntas. Padahal, Prabowo sudah mengakui perbuatannya. Di depan DKP, Prabowo mengungkapkan mengenai daftar sembilan aktivis yang harus diculik yang ia dapat dari atasannya
seraya mengatakan bahwa kesembilan orang itu menjadi tanggung jawabnya dan telah ia lepaskan serta semuanya masih hidup.[3] Bahkan, Haryanto Taslam kabarnya mengakui bahwa ia masih hidup karena Prabowo yang melepaskan.


Mengapa setelah DKP memeriksa Prabowo dan kawan-kawannya, pengusutan kasus penculikan lantas berhenti. Bukankah yang bersangkutan sudah bersedia dan menyatakan lebih senang bila kasusnya diselesaikan di mahkamah militer, sebagaimana keinginan masyarakat luas yang sangat berharap agar kasus ini dapat dituntaskan di mahkamah militer.[4] Dalam kamus tentara tentu saja mustahil ada operasi tanpa perintah atasan. Atau dengan kata lain, tidaklah mungkin seorang tentara berani mengambil inisiatif untuk melakukan operasi militer tanpa diperintah atasannya, apa pun pangkatnya. Berarti yang mesti ditelusuri lebih jauh ialah siapakah yang memberi perintah kepada Prabowo untuk menculik, KSAD-kah, Pangab atau Pangti-kah? Dengan mengikuti alur pertanyaan ini, maka tidak dilanjutkannya kasus Prabowo ke mahkamah militer adalah karena bila diungkap maka kemungkinan akan melibatkan banyak jenderal atau membongkar rahasia di Angkatan Darat sendiri.


Di sini segera terlihat jelas muatan politis (baca: taktik dan tipu daya) dari langkah Wiranto. Pertama, ia berusaha merebut simpati publik dengan cara mengajukan sejumlah oknum Kopassus tadi dan bila perlu tidak segan-segan menjatuhi mereka hukuman.[5]Jadi, jatuhnya vonis hukuman buat anggota Tim Mawar seakan-akan hanya bermaksud menyenangkan publik. Tak terhindarkan muncul kesan bahwa ketujuh anggota Kopassus itu menjadi pihak yang dikorbankan. Penilaian ini didasarkan pada logika dalam kemiliteran bahwa tidak mungkin seorang berpangkat mayor dapat mengambil inisiatif sendiri atas suatu operasi.[6]
Kedua, dengan menangani lebih dahulu dan sesegera mungkin kasus penculikan yang melibatkan Prabowo, berarti terbuka luas kesempatan bagi Wiranto untuk menggeser Prabowo. Dan memang kelak, melalui temuan-temuan yang diperoleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira), Wiranto punya alasan kuat untuk menamatkan karier Prabowo Subianto di milker. Ketika kemudian penyelidikan atas kasus ini seakan- akan terhenti, dengan tanpa melacak lebih lanjut ke tingkat yang lebih tinggi guna mencari tabu siapa yang memberi perintah kepada Prabowo, publik segera sadar bahwa pengungkapan kasus penculikan semata-mata mempunyai sasaran tunggal: yakni menggeser Prabowo.
“Saya rasa, keadilan terhadap perihal Prabowo Subianto terlihat kabur dan ngawur, karena seakan-akan segala tenaga menghujat terpusat pada Kopassus dan Prabowo Subianto. Mengapa segala sesuatu berada di pundaknya? Padahal, kita semua tahu banyak kesatuan lain dan perwira tinggi lain yang terlibat di situ.”
Setelah berhasil menyingkirkan Prabowo, Jenderal TNI Wiranto kemudian dengan leluasa melakukan konsolidasi (baca: pergeseran-pergeseran personel) di dalam tubuh TNI. Langkah tersebut dinilai banyak kalangan sebagai upaya membersihkan tubuh ABRI dari pengaruh Prabowo.[7]Puncak upaya marginalisasi para perwira yang dekat dengan Prabowo ialah dilakukannya mutasi besar-besaran 100 perwira ABRI pada 4 Januari 1999. Dengan demikian, Jenderal Wiranto telah melakukan usaha-usaha serius dan sistematis guna menyingkirkan Prabowo dan kelompoknya, di mana upaya pengungkapan kasus penculikan aktivis sebagai entry point-nya.
“Saya rasa, keadilan terhadap perihal Prabowo Subianto terlihat kabur dan ngawur, karena seakan-akan segala tenaga menghujat terpusat pada Kopassus dan Prabowo Subianto. Mengapa segala sesuatu berada di pundaknya? Padahal, kita semua tahu banyak kesatuan lain dan perwira tinggi lain yang terlibat di situ.” kata Sumitro suatu waktu kepada wartawan.[8] Sumitro mengeluarkan uneg-unegnya karena menyaksikan bahwa isi pemberitaan dari kalangan media cetak dan elektronika sudah termakan black propagandayang diembuskan oleh pihak tertentu. Kalangan media massa banyak mengembangkan opini dari sumber-sumber yang obyektivitasnya diragukan. Dengan demikian, harapan akan keadilan dan sense of fair treatment masih kurang.
Sumitro mengatakan, dirinya menghargai dan menghormati Prabowo Subianto sebagai ksatria, serta berani mengambil tanggung jawab jika dalam melaksanakan tugasnya ada kesalahan. “Namun, tak boleh lupa, ada atasannya. Bahwa kalau ada penyimpangan di dalam ABRI maka ada dua tingkat atasannya yang harus tahu.”
Ayah Prabowo juga mengemukakan keheranannya mengapa pada tanggal 14 Mei 1998, Pangab Jenderal TNI Wiranto tetap ngototuntuk memberangkatkan semua jenderal penting ke Malang guna menghadiri upacara peralihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi I ke Divisi II, padahal sudah ada info bahwa bakal ada kerusuhan. Prabowo pun telah mengingatkan bahwa akan terjadi sesuatu, sehingga berpendapat agar Pangab dan jenderal-jenderal yang menjabat posisi-posisi strategis—seperti Kasad, Danjen Kopassus, dan juga dirinya (Pangkostrad)—agar tidak pergi ke Malang. Prabowo mengatakan apakah tidak sebaiknya ia berada di Jakarta untuk berjaga-jaga membantu Pangdam Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. Namun, Wiranto tetap bersikeras bahwa semua harus berangkat meninggalkan Jakarta! Ini berarti mengorbankan keamanan Jakarta, untuk sebuah acara tak begitu penting di Malang, sebab penyerahan pasukan di Malang sebenarnya cukup dilakukan oleh Panglima Divisi! Padahal pada tanggal 12 Mei 1998 di Jakarta Barat sudah terjadi kerusuhan. Keadaan di Jakarta dengan cepat memburuk akibat jatuhnya korban tertembaknya mahasiswa Trisakti.
Seorang sumber harian Berita Buana[9] menyebutkan bahwa Prabowo berani mengingatkan Wiranto—bahkan konon mengusulkan agar acara di Malang ditunda[10]— karena dirinya mendapat informasi dari Kedutaan AS bahwa akan terjadi gerakan sejuta massa di Jakarta.
Singkat cerita, dalam desain rekayasa itu (kalau memang benar itu ada), Mabes ABRI tetap pada rencana semula: acara di Malang jalan terus! Pangab akan tetap hadir, Pangkostrad hadir juga, KSAD juga turut ke sana. Padahal, dalam keterangannya kepada TGPF, Kepala BIA menegaskan bahwa karena peristiwa penembakan di Trisakti, semua pasukan harus siaga satu![11]
Mengenai hal ini, Sumitro menilai sikap Wiranto sangatlah janggal dan menduga keras tersembunyi maksud-maksud terselubung mengapa ia “mengungsikan” para pimpinan pasukan ke luar Jakarta. Mengapa hanya Sjafrie yang disisakan di Jakarta dengan jumlah pasukan sedikit? Apakah ini sudah didesain? Bagi Sumitro hal inilah yang harus diusut tuntas guna menyingkap misteri tebal di seputar kerusuhan 13-15 Mei 1998. [Sumitro menilai sungguh aneh rekomendasi yang dikemukakan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) agar pemerintah mengusut pertemuan berbagai tokoh tanggal 14 Mei 1998 di Makostrad].
Pertanyaan selanjutnya, kelompok manakah yang membuat rekayasa sehingga dengan sengaja menyebabkan jatuhnya martir pada peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, yang terbukti sangat berperanan dalam memanaskan gerakan massa?
Pagi hari tanggal 14 Mei 1998, rombongan jenderal melenggang ke Malang. Di saat yang sama kerusuhan sudah meletus di Jakarta! Dan, baru pukul 12.30 rombongan tiba di Jakarta, saat situasi sudah sangat terlambat, sudah banyak gedung yang dibakar massa, sebagian Jakarta sudah hangus! Ketika Jakarta benar-benar porak-poranda, masyarakat dibuat keheranan karena Ibu Kota seakan-akan lowong tanpa adanya penjagaan pasukan sama-sekali, sehingga kerusuhan dengan cepat meluas. Hasil rekayasa siapakah ini?
+++
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habi­bie atau Wiranto, pasti berdusta!” tegas Sumitro…
Presiden transisi B.J. Habibie di depan Forum Editor Asia-Jerman II di Istana Merdeka, tanggal 15 Februari 1999 mengatakan, bahwa sehari setelah Soeharto tumbang, Prabowo melakukan konsentrasi pasukan. “Pasukan di bawah komando seseorang, yang namanya tidak usah disembunyikan lagi, Jenderal Prabowo, sedang mengkonsentrasikan di beberapa tempat termasuk di rumah saya,” ucap Habibie.
Anehnya, keterangan Habibie itu langsung dibantah oleh Pangab Jenderal TNI Wiranto, dengan mengatakan bahwa keberadaan pasukan itu sesuai dengan prosedur tetap: mengamankan presiden dan wapres di saat genting. Padahal, dalam pernyataannya Habibie menyebutkan bahwa informasi tersebut bersumber dari Wiranto. Mantan Pangdam Jaya Syafrie Sjamsuddin, memastikan bahwa itu bukan pasukan Kostrad, melainkan pasukan Kopassus. Dalam briefing Pangab di Markas Komando Garnisun, 14 Mei 1998, Pangab memerintahkan kepada Pangkostrad Prabowo untuk mengamankan instalasi-instalasi vital. Dankoman (Komandan Korps Marinir) diperintahkan mengamankan konsulat dan kedubes, sedangkan Danjen Kopassus disuruh mengamankan RI-1 dan RI-2. Semua tugas itu di bawah kendali Pangkoops Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.[12]
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habi­bie atau Wiranto, pasti berdusta!” tegas Sumitro, seraya menambahkan ia tidak tahu apa maksud Habibie melontarkan isu semacam itu. Sumitro menceritakan pula bahwa sewaktu Habibie terpilih untuk memangku jabatan Wakil Presiden RI, Habibie secara khusus datang menemui Sumitro untuk mohon doa restunya agar ia dapat menjalankan tugas yang dipercayakan tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, Sumitro sangat kecewa atas pernyataan-pernyataan Habibie yang selalu mendiskreditkan Prabowo. Sumitro juga membantah isue bahwa Prabowo sempat memaksakan niat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, bahkan Panglima ABRI.
“Itu cuma black propaganda yang dilancarkan oleh orang-orang yang membenci Prabowo. Anda sekarang sudah bisa menduga-duga siapa-siapa orang tersebut. Dan, terutama saya yakin dugaan Anda pasti tepat!” tutur Sumitro.

*) Dicuplik dari buku Aristides Katoppo, dkk., Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Jakarta: Sinar Harapan, 2000), Bab 46, dengan judul asli “Soal Prabowo”.



[1] Wawancara Sumitro Djojohadikusumo dengan wartawan The Busi­ness Times, Singapura, edisi 15-16 Februari 1997.
[2] Simak misalnya komentar pengamat politik dan militer Indonesia Dr. Harold Crouch. Ia menyebut langkah Wiranto itu sebagai suatu tindakan yang luar biasa. Lihat, Merdeka, 16 Juli 1998. Pujian terlalu dini dilontarkan pula oleh Prof. Daniel S. Lev, lihat dalamMerdeka, 21 Juni 1998.
[3] Prabowo berkesaksian bahwa ia tidak mengetahui hal-ihwal penculik 12 orang lainnya yang hingga sekarang masih belum kembali. Dengan demikian, berarti ada pihak-pihak lain di luar Prabowo yang juga turut “bermain” dan hingga sekarang belum terungkap
[4] Dalam jajak pendapat yang diadakan oleh majalah Gatra bersama Laboratorium Ilmu Politik, FISIP UI, di tiga kota Jakarta, Dili, dan Banda Aceh pada bulan September 1998 terungkap bahwa hampir semua respoden yakni 97,6 persen menginginkan kasus tersebut dilanjutkan ke mahkamah militer. Lihat Gatra, 10 Oktober 1998.
[5] Tujuh anggota Tim Mawar akhirnya dijatuhi hukuman, mereka dipersalahkan karena “mengambil inisiatif sendiri” untuk mengadakan serangkaian tindak penculikan terhadap para aktivis mahasiswa. Demikian dakwaan yang dibacakan oleh Oditur Militer. Tentu saja keterangan ini sungguh aneh dan sama sekali tak boleh dipercaya, mana mungkin dalam tradisi militer seorang berpangkat mayor dapat memimpin suatu operasi tanpa diketahui oleh atasannya? Seorang perwira tinggi ABRI ketika dikonfirmasikan ihwal ini, cuma berkomentar singkat, “Hukukam tersebut harus diterima. Itu memang risiko menjadi tentara!”
[6] Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Oditur Militer Kolonel H. Harom Widjaja, ide penculikan datang dari Mayor Bambang Kristiono, 38 tahun. Komandan Pleton 42 Kopassus itu menilai aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan para aktivis radikal sudah mengganggu stabilitas nasional. Mei 1997, Bambang membentuk satuan tugas Tim Mawar. Tim ini, lanjut dakwaan Oditur Militer, beroperasi sangat rahasia dan tertutup, menggunakan metode hitam dengan pos komando yang berdiri sendiri. Bambang lalu memerintahkan anak buahnya untuk “mengamankan” para aktivis yang dicurigai. Penculikan pertama dilakukan terhadap Desmond pada 3 Februari 1998. Lihat, Majalah D&R No. 20/XXX/28 Desember 1998.
[7] Para petinggi ABRI, termasuk Jenderal Wiranto, membantah adanya pertikaian elit politik di tubuh tentara, termasuk mengenai pengelompokan-pengelompokan yang membagi tentara, “ABRI Merah Putih” dan “ABRI Hijau”. Namun, isu mengenai adanya persaingan antara kedua kelompok ini bertium semakin santernya di luaran, dan isu itu banyak bersumber dari kalangan dalam ABRI sendiri.
[8] Warta Berita Antara, 26 Nopember 1998.
[9] Berita Buana, edisi 24 Februari 1999
[10] Forum Keadilan, No.17. 30 November 1998.
[11] Forum Keadilan, No.17. 30 November 1998.
[12] Simak pula surat terbuka Letjen (Purn) Prabowo Subianto mengenai kejadian antara 12-22 Mei 1998 di Ibu Kota.