Senin, 07 Desember 2015

PRABOWO SUBIANTO: ITU BLUNDER TERBESAR HABIBIE


“… ada sindrom Mataram, setelah raja yang kuat meninggalkan tempat, para pangeran berebut kekuasaan. Yang jadi korban justru negara. Dan para pangeran bisa mengundang bantuan dari luar. Ini, kan, suatu sindrom, suatu fenomena sejarah.”
 Mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, 47 tahun, dikenal “dekat” dengan Timor Timur. Lulusan Akademi Militer tahun 1974 inilah yang menewaskan Presiden Fretilin, Nicolao Lobato, pada 1978. Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini belakangan harus kehilangan karir militernya. Menantu mantan presiden Soeharto ini dianggap terlibat penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998, tiga bulan sebelum Soeharto jatuh. Ia dipecat dari TNI.
Kini ia berada di sebuah apartemen empat lantai di Kota Amman, Yordania. Kamis pekan lalu, “diam-diam” ia bertemu dengan Presiden Gus Dur dipresidential suite Istana Al-Nadwa, Amman. Bowo minta izin pulang? “Kalau dia mau pulang, silakan saja. Dia sebenarnya, kan, sudah dihukum, sudah melepas pangkat militernya, bagi tentara itu menyakitkan,” kata Gus Dur saat ditanya pers di pesawat Airbus A-300 sebelum mendarat di Jakarta, Jumat esoknya.
Jumat siang, selama sekitar 1,5 jam, wartawan TEMPO Wahyu Muryadi menemui Prabowo di rumahnya, untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:

 Di Jakarta dibentuk Komite Pencari Fakta HAM yang akan mengusut soal operasi militer di Aceh, praktek bumi hangus di Dili, mungkin nanti penculikan aktivis. Jenderal Wiranto, Zacky Makarim, Sjafrie, akan dimintai keterangan. Gentarkah Anda dengan semua itu?
Kita lihat saja perkembangannya. Saya kira semua harus fair. Tentara adalah suatu lembaga. TNI adalah suatu aset nasional. Kalau TNI selalu dipojokkan, dijatuhkan, siapa yang menjadi perekat bangsa? Kalau perwira-perwira yang bertugas untuk kedaulatan, kehormatan, dan keutuhan bangsa, dicari-cari kesalahannya, ya, kita akan bisa melihat akibatnya. Tidak akan ada orang yang patriotik, yang punya profesionalisme tinggi, yang mau mengabdi di tentara. Siapa yang akan menjaga keamanan? Mereka yang diberi tugas ke Irian, Tim-Tim, apakah mereka ke situ karena hobi? Karena apa? Karena cinta tanah air. Kalau ada pasukan yang tidak disiplin, kenapa tidak disiplin, itu yang perlu diperbaiki. Tapi, kalau sekarang mau dihujat, mau dibongkar, mau menghancurkan reputasi orang, menurut saya itu bagian dari permainan politik. Sebagai alat untuk mendapatkan saya.

 Kekecewaan dan kemarahan Anda ini ditujukan kepada mertua, barangkali…?
Enggak. Kenapa Anda bilang kekecewaan dan kemarahan (meninggi). Tidak. Saya memandangnya sangat dingin. Ini bagian dari politik. Kalau ada pelanggaran hak asasi, menurut saya, justru untuk orang-orang seperti saya, Sjafrie, berusaha memperbaiki, kok.

 Terus tentang kesalahan BKO (bawah kendali operasi, ketika terjadi penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998) segala macam….
Kan, sudah saya kasih penjelasan. Sudah saya kasih penjelasan.

Artinya, Anda bilang (penculikan) itu sudah diketahui oleh panglima….
Begini, deh. Pokoknya, hati nurani saya bersih. Saya ini prajurit. Saya melaksanakan tugas demi menjaga kehormatan Republik, demi Merah Putih, demi rakyat. Pelajari, dong, masalahnya. You mau kembalikan ke masalah penculikan, Anda selalu mengaitkan dengan penculikan-penculikan. Kenapa tidak Anda bahas soal perakitan bom. Mereka mau bom-boman, mereka mau membakar terminal, itu tidak pernah Anda ungkit. Lihat, dong, pengadilan perwira-perwira (Kopassus) itu. Sudah saya katakan, kalau memang salah, saya akui. Saya ikut bertanggung jawab, itu sudah saya katakan.

Tapi ada yang mengatakan itu adalah operasi intelijen….
Sudahlah, semua orang sudah tahu, Anda hanya mengulang-ulang pertanyaan. Semua orang tahu bahwa itu operasi intelijen. Tapi saya juga punya kesetiaan kepada lembaga saya. Apa yang kalian mau? Kalian mau kita hancurkan seluruhnya?

Apa konsep Anda tentang republik ini?
Saya sebagai patriot, saya tidak suka republik ini pecah. Itu yang kita hadapi, kan? TNI juga punya jasa dan prestasi, walaupun juga banyak kekurangannya. TNI, kan, suatu lembaga. Kalau ada kekurangan, harusnya diperbaiki, jangan malah lembaganya yang mau dirusak. Kalau rakyat dibuat tidak percaya kepada tentaranya, disintegrasi sosial, disintegrasi politik, disintegrasi nasional, akan terjadi.

“… Blunder terbesar karena Xanana dan Fretilin tidak meminta referendum tahun ini. Mereka minta 10 atau 15 tahun kemudian. Bahkan Xanana pernah bilang, kalau perlu referendum kelak di kemudian hari.”

Menurut Anda, separatisme sudah pada tingkat bahaya?
Menurut saya sudah pada tingkat bahaya. Pemerintah harus tegas. Kita tidak boleh menoleransi separatisme. Kita harus setia kepada proklamasi 17 Agustus dan mempertahankan Republik Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Tetapi apakah kekuatan separatisme ini cukup besar?
Kalau benar berita bahwa jaksa, hakim, polisi telah meninggalkan Aceh, berarti ini sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut saya, ini sudah lampu merah, bukan lampu kuning lagi. Menurut saya, dari luar, ini sudah pemberontakan karena sudah mengangkat bendera selain bendera RI.

Apa tugas terberat bagi pemerintahan Gus Dur sekarang?
Menjaga keutuhan RI.

Anda pernah bilang blunder terbesar Habibie adalah soal Timor Timur….
Benar. Blunder terbesar karena Xanana dan Fretilin tidak meminta referendum tahun ini. Mereka minta 10 atau 15 tahun kemudian. Bahkan Xanana pernah bilang, kalau perlu referendum kelak di kemudian hari.

Bagaimana dengan ide negara federasi?
Pendapat saya pribadi, tidak masalah. Federasi hanyalah sistem pemerintahan. Kalau federasi lebih fleksibel, kenapa tidak digunakan? Malaysia federal, Jerman, Amerika, Rusia sekarang federal. Banyak contoh negara federal yang berhasil. Dan untuk mengantisipasi kemajemukan, sistem federasi adalah sesuatu yang pantas dipertimbangkan.

Solusi yang dapat menjawab tuntutan masyarakat Aceh salah satunya adalah pengusutan kasus-kasus daerah operasi militer. Anda sepakat?
Kalau memang itu yang mau diselidiki, ya, silakan saja. Kan, ada bottom line-nya. Menurut saya, kita harus tetap meyakinkan dan mengajak tokoh Aceh agar tetap bersama kita dalam keluarga besar RI. Sebab, mereka ikut mendirikan RI. Menurut saya, ada sekelompok kecil ekstrem yang berhasil menciptakan kondisi seperti sekarang. Saya kira mayoritas masyarakat Aceh tidak ingin lepas dari Republik. Memang banyak kesalahan aparat, tetapi itu kondisi yang terjadi pada saat itu. Itu yang ingin kita perbaiki, bukan hanya di Aceh, di seluruh RI.

Di Timor Timur ada operasi yang melibatkan Anda?
Terus terang, saya sudah 18 bulan ada di luar negeri. Saya sudah ada di luar struktur, istilah militernya, out of the look. Saya tidak mengikuti secara detail, saya hanya mengikuti. Karena saya diserang terus, saya tidak mau merepotkan rekan-rekan saya yang masih dalam struktur. Maka, saya tidak pernah menghubungi, saya tidak pernah memberi saran, saya diam saja. Tetapi apakah bumi hangus itu suatu policy dari atas, saya sama sekali tidak tahu. Saya kira tidak ada. Kita juga harus hati-hati terhadap permainan intelijen. Itu, kan, bisa saja. Bisa saja mereka dibayar oleh tentara asing.

Tentang Gardapaksi (organisasi pemuda prointegrasi yang disebut-sebut dibentuk dengan “setahu” Prabowo)….
Waktu itu banyak pemuda yang drop-out tidak punya pekerjaan. Kita harus membuat integrasi ini menguntungkan Timor Timur. Maka, mereka harus diberi keterampilan, pekerjaan yang bisa segera menghasilkan uang. Inilah gagasan Gardapaksi. Waktu itu didukung oleh Bappenas, sehingga kita berhasil melatih keterampilan ini. Ini saham bagi RI. Mereka tidak pernah dilatih militer. Karena berjasa terhadap RI, mereka dianggap ancaman. Tentara dianggap melakukan okupasi. Tapi tentang politik bumi hangus dan sebagainya, saya tidak tahu. Saya kira itu bukan sikap resmi ABRI.

Tentang Anda sendiri, kenapa memilih tinggal di Amman?
Setelah saya keluar dari tentara, saya harus hidup. Kebetulan adik saya (Hashim) punya banyak pekerjaan di Timur Tengah, sudah 11 tahun lebih, di Sudan, Irak, Syria. Di samping itu, saya di sini banyak kawan. Sementara saya ingin minggir dengan baik. Saya tidak ingin membuat masalah lagi di Indonesia. Jadi, sementara saya memilih berbisnis di luar. Itu saja, sederhana.

Bisnis apa?
Trading. Komoditas. Kita berusaha menjual barang Indonesia di pasar sini. Itu bagian dari patriotisme saya. Kita jual teh, teh Indonesia, kita jual kopi, kopi Indonesia, kita jual garmen, garmen Indonesia.

Jadi, kapasitas Anda sebagai apa?
Saya tidak mau jadi eksekutif. Semacam advicer sajalah.

Anda dekat dengan Raja Abdullah?
Ya, benar.

Seberapa dekat sekarang setelah Anda diturunkan secara paksa?
(Tertawa) Hubungan saya dengan beliau memang baik justru ketika saya tidak punya jabatan. Beliau masih menunjukkan sikap baiknya dan sikap kesetiaannya. Jadi, itu yang sangat saya hargai. Kadang-kadang, kalau kita berkuasa, kita banyak teman, begitu kita tidak punya apa-apa, udah.

Bagaimana keluarga Anda?
Anak saya di Boston. Beberapa saat saya ke sana. Hubungan telepon setiap hari. Maka, biaya telepon mahal sekali ini.

Tapi Anda tampaknya masih punya jiwa militer?
Once a soldier always a soldier. Prajurit itu tidak usah memakai seragam. Jiwa saya tetap seorang prajurit. Saya menganggap ini sebagai perjuangan.

Kangen nggak, sih, pulang ke Jakarta?
Itu sifat orang Indonesia yang selalu ingin pulang kampung.

Itu, kan, pernah Anda rintis sewaktu Pak Habibie?
Benar. Saya selalu menghargai dan menghormati para senior. Dulu Pak Habibie dan Gus Dur sebelum menjadi presiden menyarankan saya agar tidak kembali dulu. Kalau saatnya tepat, saya akan pulang.

Anda masih khawatir kalau pulang sekarang?
Saya nggak tahu. Tapi, kalau banyak orang dekat dengan saya, saya bisa kena fitnah lagi. Nanti dibuat lagi satu peristiwa. Ini, kan, permainan-permainan intel. Bisa juga dibuat satu gerakan, dibilang dalangnya Prabowo. Kan, selama ini begitu? Saya di Yordan saja dibilang saya di Kupang. Ada juga pihak lain yang khawatir saya mau bikin macem-macem.

Kalau Anda berlama-lama di Yordania, orang menduga Anda melarikan diri….
Tidak benar. Saya sudah minta izin pulang dan saya disarankan agar tidak pulang. Pada saatnya saya akan kembali.

Siapa, sih, yang Anda takuti di Jakarta?
Saya takut sama Tuhan.

Tetapi kawan-kawan Anda sedang dalam posisi dikuyo-kuyo. Apakah kalau pulang Anda siap dengan risiko seperti itu?
Saya melihat bahwa itu risiko seorang prajurit dalam berjuang. Saya kenal baik dengan kawan-kawan saya. Karena kebetulan juga senasib dan seperjuangan, saya kenal mereka karena sering di lapangan. Menurut saya, mereka adalah patriot sejati. Sekarang mereka difitnah sebagai penjahat perang atau segala macem. Fitnah kejam yang selalu diarahkan kepada orang-orang patriot yang kuat membela negaranya.

Anda percaya ada konspirasi?
Antara percaya dan tidak. Anda lihat apa yang terjadi di negara kita selama dua tahun belakangan ini. Apakah itu terjadi begitu saja? Penyakit kanker, kan, ada perjalanan penyakitnya, ada stadium satu, dua, dan seterusnya.

Konspirasi ini dimainkan oleh Amerika Serikat?
Saya tidak mengatakan itu. Jangan memancing-mancing.

Apakah tidak ada persaingan di elite (kekuasaan) yang berhadapan dengan kawan-kawan Anda itu?
Dalam sejarah pun ada sindrom Mataram, setelah raja yang kuat meninggalkan tempat, para pangeran berebut kekuasaan. Yang jadi korban justru negara. Dan para pangeran bisa mengundang bantuan dari luar. Ini, kan, suatu sindrom, suatu fenomena sejarah.

Maksud Anda?
Sejarah kan berulang. Hobi saya sebetulnya sejarah. Bisnis ini karena terpaksa. Benar. Saya ingin mendalami sejarah. Menulis buku jadi cita-cita saya. Saya sekarang sedang mempelajari sejarah Romawi. Kalau kita lihat sejarah Romawi, itu persis seperti yang kita alami sekarang.

*) Dimuat dalam Laporan Utama Majalah TEMPO No. 39/XXVIII, 29 November—5 Desember 1999. Judul asli “Prabowo Subianto: Aceh Sudah Lampu Merah”

https://soedoetpandang.wordpress.com/2013/10/14/prabowo-subianto-itu-blunder-terbesar-habibie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar